Monday, March 21, 2011

surat seorang anak pada ayahnya*

Ayah, aku pernah sangat jengkel padamu. Beberapa kali, seingatku. Bukan karena engkau menolak permintaanku, tetapi jawaban khas itu, "Nanti ya, tunggu gajian, tanggal muda." Seolah engkau selalu memutar kembali redaksi jawaban itu untuk setiap rengekan anak-anakmu. Waktu itu, aku tak sepenuhnya paham bahwa isi kantongmu sangat bergantung pada tua mudanya tanggal.


Aku selalu jengkel kenapa engkau memilih toko itu. Toko sepatu tak bernama, ruangannya kecil, koleksinya sangat terbatas. Selalu tak kutemukan merek sepatu yang kuinginkan. Aku jengkel, tapi belakangan aku tahu, toko itulah yang mengerti kondisi kantong seorang PNS golongan rendah dengan empat orang anak. Di toko itu, engkau bisa mengambil barang dan dibayar sebulan kemudian.


Suatu hari, kami, anak-anakmu. berkomplot. Kami sepakat merengek minta dibelikan pesawat televisi. Engkau tak menolak, tetapi juga tak berkata-kata. Jawaban khasmu itu entah hilang ke mana. Sangat mengesalkan, karena bahkan tak ada janji untuk kami. Sampai suatu hari beberapa bulan kemudian, engkau memberi kami kejutan. Sebuah televisi hitam putih itu sudah berada di dalam almari rumah.


Kami baru tahu kemudian, selama ini engkau menyisihkan gajimu yang sudah terpotong untuk berbagai tagihan itu. Ditambah hasil menjual beberapa koleksi jam peninggalan kakek, engkau membelikan kami televisi. Padahal, kami semua tahu, pada jam-jam itu tersimpan kenanganmu yang dalam bersama kakek.


Ayah, aku selalu ingat janji-janjimu untuk menyekolahkanku di tempat terbaik. Engkau menyebut sebuah sekolah dengan asramanya yang mewah. Dalam sebuah piknik, engkau mengajakku ke sekolah itu. Gedungnya megah, segala prasarananya lengkap. Tak sabar aku ingin bergabung di dalamnya. Hingga suatu saat aku siap, engkau bahkan tak lagi menyebut nama sekolah itu. Tapi aku tak lagi jengkel, karena kemudian kutahu, biaya pendidikan di sekolah itu sangat mahal. Seluruh gajimu akan habis untuk biaya per bulannya. Jelas tak mungkin bagiku masuk ke sekolah itu.



tulisan di atas adalah sepenggal surat seseorang pada ayahnya. isinya mungkin sederhana. tetapi membawa satu pesan: betapa ayah kita selalu tak ingin anaknya kecewa. bisa memberi adalah kebahagiaan tersendiri, apalagi bagi seorang ayah untuk anak-anaknya. ayah akan tersenyum ketika kita, anak-anaknya, bisa tersenyum, begitu pula sebaliknya. mungkin kita tak sadar, ekspresi lepas kita ketika mendapatkan hadiah, saat terkabul permintaan, ketika membuka bingkisan oleh-oleh, selalu jadi pemandangan yang diharapkan ayah. ada selaksa bahagia dalam dada ayah, ketika melihat kita ceria.


*tulisan ini diambil dari majalah Tarbawi edisi Khusus... ayah punya caranya sendiri dalam mencintai kita*

17 comments:

Devi Asri Antika said...

sediiiiiiiiiiiiiiiiihh......

*pengen pulang ktmu ayah :'(

ruy ruhiyah said...

Iya..ini yg paling sedih..
^_^'

Iwana Nashaya - said...

:'( .............

aku kangen bapak ...

Margono M. Amir said...

Aku jadi terharu membacanya!

aziz rizki said...

mellow...

Fatah Manohara said...

yang golongan tinggi pun "trimo" pake lungsuran sepatu kakak kelas..C#

Retno Setianingtias said...

sedih :'(

ade mataho said...

:)

via telpon kalau jauh ^^

ade mataho said...

koo??

ade mataho said...

samaaaaaaaaaaa

ade abis baca surat ini telpon bapak lagii
padahal 10mnitan sblumnya udh telponan..

ade mataho said...

Opa juga ya..
^^

ade mataho said...

pillow

ade mataho said...

nasib adek kelas ya Fat..


iya benar

ade mataho said...

:)

ade mataho said...

for all,,
coba cari tarbawi edisi khusus ayah, baru keluar maret ini *bagi yang belum punya*
banyak cerita tentang ayah
tentang bahasa cinta yang kosakatanya berbeda
tentang mata air cinta yang narasi kemasannya berbeda
sungguh,, dalam diamnya tersimpan sejuta hal
semoga belum terlambat bagi kita untuk memahami
betapa ayah kita punya caranya sendiri dalam mencintai kita ^^

I LOVE PAPA...

Farid Asbani said...

Wah, jadi agak lengkap. Kmrn iseng nyari ketemu ini:
http://faraziyya.wordpress.com/2011/03/15/menghadirkan-kenangan-akan-ayah-tercinta/

ade mataho said...

ok
makasih mbah