Tuesday, September 8, 2009

Manusia adalah Gugusan Keajaiban

MANUSIA adalah gugusan keajaiban yang belum sempurna dikagumi. Ia tersusun dalam suatu wujud yang sempurna, presisi, serasi, dan indah. Manusia adalah Senyum Tuhan yang Mahaagung pada sebentuk tanah di hari penciptaan.
Banyak buku-buku yang membuat kesaksian tentang itu. Bersaksi betapa tangan yang terdiri dari dua puluh tujuh tulang dan sembilan belas susunan otot adalah sebuah penciptaan yang amat mengagumkan. Ia tetap leluasa bergerak, walau tanpa bantuan mata, walau dalam kegelapan. Dalam gelap, tanpa bantuan mata, dia mampu memasukkan sesuatu makanan ke dalam mulut kita tanpa terpeleset sedikit pun. Dalam gelap, tanpa bantuan mata, ia tetap mampu memetik senar-senar gitar dengan bebunyian yang harmonis dan mempesona. Bahkan, ia mampu menyentuh setiap bagian tubuh kita dengan tepat.
Juga banyak hasil kerja manusia yang mengagumi keajaiban mata. Betapa seratus tiga puluh juta saraf penerima cahaya telah membuat kita mampu melihat bulan, bintang-bintang, bahkan juga melihat betapa mengagumkannya manusia. Saraf-saraf itu dilindungi oleh kelopak mata dengan bulu-bulu yang melindungi mata kita siang dan malam. Ia bergerak cepat, reflek, tatkala ada debu atau benda asing hendak mengganggu. Bahkan, ia juga mengurangi garangnya sinar matahari yang menyengat. Sedangkan cairan air mata, selain sebagai pembersih bola mata, ia juga mampu melegakan dada kita tatkala sedang sedih dan terluka.
Belum lagi kalau kita berbicara keajaiban organ-organ yang lain. Semisal telinga yang terdiri dari empat ribu lekukan rumit yang tersusun dengan sangat cermat untuk membantu kita mendengar suara-suara dan bebunyian, dari suara petir dan halilintar, mozard, air mengalir menghantam bebatuan, hingga kerisik daun yang jatuh. Bahkan, dengannya kita bisa menyimak merdu suara Siti Nurhaliza (kok dia sie, khan orang Malaysia!)
Demikian halnya dengan alat perasa yang terdiri dari sembilan ribu tonjolan, yang membantu kita tahu aman atau berbahaya apa yang kita makan, juga ia mengantarkan kita pada nikmat rasa yang mengenakkan. Maka, ketika kita sakit dan semua makanan menjadi hambar dan pahit, betapa sedihnya kita.
Dan yang tak kalah menakjubkan, betapa ajaib alat pencernaan kita. Ia menghancurkan apa saja yang kita makan, memilah-milah kandungan di dalamnya, serta memberikannya pada organ-organ yang membutuhkan. Ia tahu mana obat yang harus dikirim ke syaraf ketika kita sedang sakit kepala, sakit mata, atau sakit perut, tanpa pernah keliru. Bahkan, dia juga tahu mana kandungan dari makanan yang harus diubah menjadi rambut, daging, tulang, dan kuku. Bahkan, tatkala tak ada lagi persedian makanan yang harus diproduksi, ia tetap bekerja melakukan pembentukan sel-sel berbiliun-biliun jumlahya. Ini melebihi jumlah seluruh manusia yang ada di muka bumi. Maka, walau kedua tangan Picasso dan Davinci, Neruda dan Rendra, Kitaro dan Bethoven menggabungkan lukisan, puisi, dan komposisi musik paling andalan dalam sebuah wujud baru, tak akan berarti. Hanya potongan-potongan debu. Subhanallah..., lantas nikmat Tuhan yang manalagi yang akan kita dustakan (QS Ar-Rahman 13)?
Tapi soalnya, entahlah..., kita lebih sering kagum pada hal-hal yang jauh. Kita lebih kagum pada relief dan gunduk borobudur, ketimbang seratus tiga puluh juta syaraf penerima cahaya di mata kita, yang tanpanya borobudur hanya sebuah kegelapan. Kita lebih mengagumi komputer dengan kecepatan tinggi, ketimbang otak kita yang jauh lebih canggih, yang tanpanya komputer hanya onggokan tanpa guna.
Itu mungkin yang membuat kita gelisah. Yang membuat kita terlalu banyak permintaan, yang membuat kita ingin selalu bermegah-megahan. Sehingga, dalam setiap kali berdoa, kita lebih banyak meminta ketimbang bersyukur. Bersyukur atas kemegahan seantero tubuh kita yang sempurna dan ajaib.
Walau memang, kadang-kadang, ketika bercermin, kita kagum pada diri kita. Tapi hanya sebatas pada hal-hal yang artifisial, bukan yang fungsional. Misal, kagum dan masygul pada bening dan binarnya bola mata kita. Kagum pada bangir hidung, cantiknya belahan di dagu, atau lesung pipi. Tapi tanpa bertanya, semua keindahan itu untuk apa. Tanpa tahu, jangan-jangan keindahan yang kita banggakan justru menjadi tiket yang akan membawa kita ke neraka. Neraka yang di dalamnya menyala api yang panas membakar. Naudzubillah... Padahal Tuhan meminjamkan tubuh kita agar dapat menjadi alat gerak bagi ruh untuk menyeru kalimat laa ilaaha illallah, agar tempat kembali kita adalah syurga yang di bawahnya mengalir air susu dan segala sesuatu yang amat menakjubkan.
Itu yang tampaknya membuat Tuhan menegur kita dengan lembut dan dan elegan, teguran yang menurut Sayyid Quthb mampu menggoncangkan setiap atom yang ada pada diri manusia manakala sisi kemanusiaannya telah terbangun; Hai manusia, apakah yang telah memperdaya kamu untuk (berbuat durhaka) terhadap Rabbmu Yang Maha Pemurah yang telah menciptakan kamu, lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang (QS Al-Infithar 6-7)?
Hem..., manusia memang sebuah gugusan kejaiban. Tapi sayang, kita belum sempurna bersyukur. Manusia memang gugusan keajaiban, tapi belum sempurna dikagumi. Kita terlalu mengagumi yang jauh, yang jauh....

ndika mahrendra

No comments: